Kamis, 26 Mei 2011

makalah hukum tata negara

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nyalah penulis dapat menyelesaikan tugas makalah Sumber-sumber Hukum Tata Negara dengan baik. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah Hukum Tata Negara.
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan bimbingan orang tua, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :
  1. Orangtua penulis yang telah memberikan kemudahan-kemudahan baik berupa moril maupun materiil yang diberikan kepada penulis.
  2. Dosen penulis Ibu Yusna Melianti dan Bapak Majda El Muhtaj selaku dosen Mata Kuliah Hukum Tata Negara yang mengajar dan memberikan bimbingan, pengarahan, dorongan dalam rangka penyelesaian dan penyusunan makalah ini.
  3. Rekan-rekan atau teman-teman penulis semua di Kelas Reguler B Stambuk 2010, dan
  4. Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan dalam penulisan makalah ini.
Sebagai manusia penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Untuk itu penulis meminta saran dan kritikan yang membangun untuk kesempurnaan makalah ini. Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih.


DAFTAR ISI



BAB I

PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang

Sumber dapat diartikan dengan pusat utama atau landasan primer. Jadi, sumber hukum adalah pusat utama landasan primer dalam hukum. Dengan demikian, semua bentuk hukum harus mengacu dan berlandaskan pada sumber utamanya. Apabila ada yang mengatakan sumber air, semua lubang mengeluarkan air berasal dari sumber airnya yang utama, sehingga apabila sumber airnya kering, semua saluran airnya pun ikut mengering. Demikian pula, jika sumber hukum dirusak dan tidak diacu dengan baik, semua peraturan perundangan di bawahnya akan menyimpang.
Apakah yang menjadi Sumber Hukum Tata Negara yang kita pelajari di Indonesia sekarang ini? Perkataan sumber hukum sebenarnya mempunyai dua arti. Arti pertama adalah sumber sebagai penyebab hanya hukum. Dan penyebab adanya hukum adalah tidak lain daripada keyakinan hukum dari orang-orang yang melakukan peranan menentukan tentang apa yang harus jadi hukum di dalam negara. Sumber dalam arti demikian di dalam bahasa Belanda dikenal dengan nama “ welbron “.
Buat kita kuranglah pentingnya untuk menyelidiki sumber hukum  dalam arti demikian bagi Hukum Tata Negara Indonesia. Lebih pada tempatnya untuk diselidiki oleh ilmu politik, atau ilmu sosiologi hukum.
Yang perlu diketahui dan diselidiki oleh kita yang mempelajari Hukum Tata Negara yang berlaku di Indonesia adalah sumber hukum dalam arti kedua, yaitu sumber hukum dalam arti bentuk perumusan dari kaidah-kaidah Hukum Tata Negara yang terdapat di dalam masyarakat darimana kita dapat mengetahui apa yang menjadi hukum itu. Sumber hukum dalam arti bentuk perumusan ini atau dengan perkataan ini dalam arti formal, dikenal di dalam bahasa Belanda dengan nama “ kenbron “.

2.      Rumusan Masalah

a.       Apakah pengertian dari sumber-sumber hukum?
b.      Apakah Sumber Hukum Formal dan Sumber Hukum Materiil?
c.       Apakah Sumber-Sumber Hukum Tata Negara Indonesia?

3.      Tujuan Masalah

a.       Untuk mengetahui pengertian dari sumber-sumber hukum.
b.      Untuk mengetahui Sumber Hukum Formal dan Sumber Hukum Materiil.
c.       Untuk mengetahui Sumber-Sumber Hukum Tata Negara Indonesia.


















BAB II

PEMBAHASAN


1.      Pengertian Umum Sumber Hukum

Usep Ranawijaya mengemukan bahwa perkataan sumber hukum sebenarnya mempunyai dua arti. Arti pertama adalah sumber hukum sebagai penyebab adanya hukum. Dan penyebab adanya hukum adalah tidak lain daripada keyakinan hukum dari orang-orang yang melakukan peranan menentukan tentang apa yang harus jadi hukum di dalam negara (welbron). Dan kedua sumber hukum dalam arti bentuk perumusan dari kaidah-kaida hukum tata negara yang terdapat di dalam masyarakat darimana  kita dapat mengetahui apa yang menjadi hukum itu (kenbron).[1]
Donner mengemukakan bahwa sumber hukum adalah ajaran yang memberikan ukuran apakah suatu ketentuan itu merupakan ketentuan yang berlaku umum ataukah tidak. Kalau ketentuan tersebut berlaku umum, maka hal ini disebut hukum, sedangkan apabila tidak maka hal itu bukanlah merupakan hukum.[2] Lebih lanjut dikemukakan bahwa untuk menentukan ukuran/criteria tersebut, dikenal adanya :
1.      Ukuran materiil, adalah ukuran yang menunjukkan kepada isi dari suatu ketentuan dapat menjadi ketentuan hukum;
2.      Ukuran formil, adalah ukuran yang menunjukkan pada proses pembentukan suatu ketentuan menjadi ketentuan hukum, baik itu ditinjau dari organ pembentuknya maupun dari cara pembentukannya, yakni proses perencanaan suatu perundang-undangan, yang meliputi :
·         Pembahasan
·         Pengesahan; dan
·         Pengundangan

2.      Sumber Hukum Formal dan Sumber Hukum Materiil

Dalam ilmu hukum, ada dua sumber hukum, yaitu sumber hukum formal dan sumber hukum materiil. Sumber hukum dalam arti formal adalah sumber hukum dalam arti bentuknya. Karena bentuknya itu, hukum berlaku umum, diketahui, dan ditaati. Disinilah suatu kaidah memperoleh kualifikasi sebagai kaidah hukum dan oleh yang berwenang ia merupakan petunjuk hidup yang harus diberi perlindungan.[3] Sumber hukum dalam arti formal merupakan patokan atau kaidah hukum yang formal yang menjadi penyebab hukum itu dirujuk oleh hukum-hukum formal di bawahnya.
Sumber-sumber hukum formal, antara lain ialah :

1.      Undang-undang (statute)

Undang-Undang ialah suatu peraturan negara yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat diadakan dan dipelihara oleh penguasa negara. Menurut Buys, undang-undang itu mempunyai dua arti, yakni :
ü  Undang-undang dalam arti formal: ialah setiap keputusan pemerintah yang merupakan undang-undang karena cara pembuatannya (misalnya: dibuat oleh pemerintah bersama-sama dengan parlemen).
ü  Undang-undang dalam arti materiil: ialah setiap keputusan pemerintah yang menurut isinya mengikat langsung setiap penduduk.

2.      Kebiasaan (costum)

Kebiasaan ialah perbuatan manusia yang tetap dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama. Apabila suatu kebiasaan tertentu diterima oleh masyarakat, dan kebiasaan itu selalu berulang-ulang dilakukan sedemikian rupa, sehingga tindakan yang berlawanan dengan kebiasaan itu dirasakan sebagai pelanggaran perasaan hukum, maka dengan demikian timbullah suatu kebiasaan hukum, yang oleh pergaulan hidup dipandang sebagai hukum
Contoh: Apabila seorang komisioner sekali menerima 100% dari hasil penjualan atau pembelian sebagai upah dan hal ini terjadi berulang-ulang dan juga komisioner yang lain pun menerima upah yang sama yaitu 10% maka oleh karena itu timbullah suatu kebiasaan (usance) yang lambat-laun berkembang menjadi hukum kebiasaan.

3.      Keputusan-keputusan hakim (juriprudentie)

Yurisprudensi ialah keputusan hakim yang dijadikan dasar keputusan oleh hakim lain mengenai kasus tertentu. Maka keputusan hakim yang terdahulu itu, menjadi sumber hukum. Keputusan tersebut adalah sumber hukum  terutama bagi pengadilan dan ketatalaksanaan pemerintahan.[4]
Ada dua macam yuriprundensi yaitu :
·         Yurisprudensi tetap, ialah keputusan hakim yang terjadi karena rangkaian keputusan serupa dan yang menjadi dasar bagi pengadilan (standard-arresten) untuk mengambil keputusan.
·         Yurisprudensi tidak tetap.
Seorang hakim mengikuti keputusan hakim yang terdahulu itu karena ia sependapat dengan isi keputusan tersebut dan hanya dipakai sebagai pedoman dalam mengambil sesuatu keputusan mengenai suatu perkara yang serupa.[5]

4.      Traktat (treaty)

Traktat ialah perjanjian yang diadakan oleh dua negara atau lebih. Apabila dua orang mengadakan kata sepakat (consensus) tentang sesuatu hal, maka mereka itu lalu mengadakan perjanjian. Akibat perjanjian ini ialah bahwa pihak-pihak yang bersangkutan terikat pada isi perjanjian yang mereka adakan. Traktat juga mengikat warga negara dari berbagai negara-negara yang bersangkutan.
Jika traktat diadakan hanya oleh dua orang negara, maka traktat itu adalah traktat bilateral, misalnya perjanjian internasional yang diadakan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Rakyat Cina tentang “ Dwikewarganegaraan “.
Jika diadakan oleh lebih dari dua negara, maka traktat itu disebut traktat multilateral, misalnya perjanjian internasional tentang pertahanan bersama negara-negara Eropa (NATO) yang diikuti oleh beberapa negara Eropa.
Apabila ada traktat multilateral memberikan kesempatan kepada negara-negara yang pada permulaan tidak turut mengadakannya, tetapi kemudian juga menjadi pihaknya, maka traktat tersebut adalah traktat kolektif atau traktat terbuka, misalnya piagam perserikatan bangsa-bangsa.

5.      Pendapat sarjana hukum (doktrin)

Doktrin ialah anggapan para ahli atau sarjana-sarjana dibidang tertentu. Misalnya doktrin-doktrin ahli hukum. Dalam yurisprudensi sering kita lihat bahwa hakim itu sering berpegang kepada anggapan seorang sarjana hukum yang terkenal, dan hakim-hakim itu sering menyebut anggapan ahli hukum mengenai kasus yang diselesaikannya, apalagi kalau dalam doktrin itu, ahli hukum menyebut bagaimana seharusnya hakim mempertimbangkan dan memutuskan.
Anggapan para sarjana terkenal ini, berpengaruh juga terhadap universitas-universitas. Maka, universitas-universitas pun, adalah tidak lengkap dasar dan pembahasan hukum, jika tidak disertai dengan doktrin-doktrin jika perlu.[6]

3.      Sumber-Sumber Hukum Tata Negara Indonesia

Sumber-sumber hukum tata negara Indonesia adalah sebagai berikut :
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia yang kemudian menjadi falsafah negara, merupakan sumber hukum dalam arti materiil yang tidak saja menjiwai bahkan harus dilaksanakan oleh setiap peraturan hukum. Karena itu pancasila merupakan alat penguji untuk setiap peraturan hukum yang berlaku, apakah ia bertentangan atau tidak dengan pancasila, sehingga peraturan hukum yang bertentangan dengan pancasila tidak boleh berlaku.
Sumber hukum formil dalam Hukum Tata Negara Indonesia tidak hanya terbatas pada sumber hukum tertulis. [7]

1.      Undang-Undang Dasar 1945

UUD 1945 sebagai sumber hukum, yang merupakan hukum dasar tertulis yang mengatur masalah kenegaraan, ia juga merupakan dasar ketentuan lainnya, umpamanya pasal 19 menentukan bahwa susunan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ditentukan dengan Undang-Undang. Penunjukan diatur dengan Undang-Undang ini menyebabkan Undang-Undang Dasar 1945 menjadi sumber hukum. UUD 1945 adalah konstitusi negara yang di dalamnya termuat materi hukum dasar dalam penyelenggaraan negara NKRI.

2.      Ketetapan MPR

Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 3, dinyatakan bahwa “ Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenag mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar “. Dengan demikian, Ketetapan MPR (Tap MPR) menjadi sumber hukum kedua dalam hukum tata negara, karena salah satu otoritas MPR mengubah dan menetapkan UUD.
Ketetapan MPR, dilihat dari sifat dan karakteristik suatu norma hukum tidak dapat dikategorikan ke dalam jenis peraturan perundang-undangan karena Ketetapan MPR masih merupakan suatu Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok Negara (staatgrundgesetz).
Suatu Ketetapan MPR seharusnya adalah suatu keputusan yang hanya mengikat dan ditujukan kepada Presiden karena Ketetapan MPR merupakan suatu amanat yang harus dijalankan/dilaksanakan oleh Presiden dalam rangka menjalankan pemerintahannya, dan tidak mengatur umum. Sebagai suatu Aturan Dasar Negara atau Aturan Pokok Negara, Ketetapan MPR juga merupakan sumber dan dasar pembentukan peraturan perundang-undangan.[8]

3.      Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Berdasarkan UUD 1945 pasal 5 ayat 1, dinyatakan bahwa “ Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) “. Ini berarti bahwa undang-undang yang dimaksudkan adalah undang-undang yang dibuat oleh Presiden atau pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Undang-undang tersebut secara materiil mengatur penyelenggaraan negara dan tugas-tugas pemerintahan.
Kemudian berdasarkan UUD 1945 pasal 20 ayat 1 dinyatakan bahwa, “ Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang “. Pasal ini memberikan pengertian tentang adanya undang-undang dalam arti formal yang dibentuk oleh DPR. Menurut ayat 2 “ Setiap rancangan undang-undang dibahas ole DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama “. Ini berarti DPR dengan Presiden memiliki wewenang yang sama dalam menyetujui undang-undang karena jika tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu (pasal 20 ayat 3).
Sebagai sumber hukum, rancangan undang-undang yang telah disetujui oleh presiden dengan DPR, disahkan oleh Presiden untuk menjadi Undang-Undang. Jika dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. Perundang-undangan merupakan proses pembentukan atau proses membentuk peraturan negara, baik tingkat pusat maupun tingkat daerah. Perundang-undangan adalah segala peraturan negara yang merupakan hasil pembentukan peraturan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
Dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang pembentuk peraturan perundang-undangan[9], dirumuskan tentang pengertian tersebut sebagaimana terdapat dalam pasal 1 angka 1 dan angka 2, yang dirumuskan sebagai berikut :
a.       Pembentukan peraturan perundang-undangan adalah proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasaan.
b.      Peraturan perundang-undang adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.
Dalam pasal 22 ayat 1 UUD 1945 dinyatakan bahwa “ Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang “. Dari pasal tersebut jelaslah bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) adalah suatu peraturan yang mempunyai kedudukan setingkat dengan undang-undang, tetapi dibentuk oleh Presiden tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, disebabkan terjadinya “ hal ihwal kegentingan yang memaksa “.[10]

4.      Peraturan Pemerintah

Dalam UUD 1945 pasal 4 ayat 1 dinyatakan bahwa “ Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut undang-undang dasar “. Pasal tersebut memberikan pemahaman bahwa kekuasaan Presiden sepenuhnya diberikan oleh UUD 1945. Sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan yang melaksanakan penyelenggaraan negara, Presiden tuidak dapat melaksanakan tugasnya dengan hanya bergantung kepada UUD 1945, melainkan membutuhkan peraturan pemerintah. Nah, kekuasaan Presiden dalam menetapkan paraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sepenuhnya ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Pelaksanaan undang-undang yang dibentuk oleh Presiden dengan DPR, menurut UUD 1945, Presiden diberi kewenangan untuk menetapkan Peraturan Pemerintah guna melaksanakan undang-undang sebagaimana mestinya (pasal 5 ayat 2). Dala hai ini berarti tidak mungkin bagi Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah sebelum ada undang-undangnya. Sebaliknya, suatu undang-undang tidak berlaku efektif tanpa ada Peraturan Pemerintah.

5.      Keputusan Presiden

UUD 1945 menentukan Keputusan Presiden sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan. Bentuk peraturan ini baru dikenal tahun 1959 berdasarkan surat keputusan Presiden No. 2262/HK/1959 yang ditujukan pada DPR, yakni sebagai peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Presiden untuk melaksanakan Penetapan Presiden. Kemudian, melalui Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1996, Keputusan Presiden resmi ditetapkan sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan menurut UUD 1945. Keputusan Presiden berisi Keputusan yang bersifat khusus (einmalig) adalah untuk melaksanakan UUD 1945, Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang eksekutif, dan peraturan pemerintah.[11]

6.      Peraturan Pelaksanaan Lainnya

Yang dimaksud dengan peraturan pelaksanaan lainnya adalah bentuk-bentuk peraturan yang ada setelah Ketetapan MPR Sementara No. XX/MPRS/1996, dan harus bersumber kepada peraturan perundangan yang lebih tinggi, umpamanya Peraturan Menteri, Peraturan Daerah, dan sebagainya.
Sumber-sumber hukum formil dari Hukum Tata Negara tersebut diatas, adalah sesuai dengan Ketetapan MPR Sementara No. XX/MPRS/1996,[12] yang kemudian oleh Ketetapan MPR No. V/MPR/1973 dinyatakan tetap berlaku.
Sumber hukum tersebut diatas merupakan sumber hukum formil menurut tingkat kewenangannya (hirarkhi), sehingga setiap peraturan hukum yang berlaku senantiasa bersumber pada peraturan hukum yang lebih tinggi tingkatannya. Ini berarti pula bahwa setiap peraturan hukum yang berlaku itu tidak boleh bertentangan dengan peraturan hukum yang lebih tinggi derajatnya.

7.      Konvensi (Kebiasaan ketatanegaraan)

Kebiasaan ketatanegaraan adalah perbuatan kehidupan ketatanegaraan yang dilakukan berulang-ulang sehingga diterima dan di taati dalam praktik ketatanegaraan. Kebiasaan ketatanegaraan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan undang-undang karena diterima dan dijalankan. Bahkan kebiasaan ketatanegaraansering menggeser peraturan-peraturan hukum tertulis.
Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa menurut pasal 17 UUD 1945, Menteri Negara bertanggung jawab kepada Presiden, karena ia adalah pembantu Presiden. Dalam perkembangan Ketatanegaraan Indonesia di tahun 1945 ternyata bahwa seorang Menteri Negara yang bertanggung jawab kepada Presiden, karena kebiasaan ketatanegaraan Menteri Negara itu bertanggung jawab kepada Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat-semacam DPR. Hal ini terjadi karena keluarnya maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945, yang kemudian diikuti dengan maklumat Pemerintah tanggal 14 Nopember 1945, di mana Komite Nasional Indonesia Pusat yang semula membantu Presiden dalam menjalankan wewenangnya berdasarkan Aturan Peralihan Pasal IV Undang-Undang Dasar 1945, menjadi Badan yang sederajat dengan Presiden, dan tempat Menteri Negara bertanggung jawab. Dan ini terjadi dalam kabinet Syahrir I, II, III, serta Amir Syarifudin yang menggantikannya.
Ada beberapa contoh Kebiasaan Ketatanegaraan Indonesia yaitu :
·         Setiap tanggal 16 Agustus, Presiden harus mengucapkan pidato kenegaraan di dalam sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat.
·         Praktik Lembaga Tertinggi Negara bernama MPR, mengenai pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat.
·         Jauh hari sebelum MPR bersidang Presiden telah menyiapkan rancangan bahan-bahan untuk sidang umum MPR yang akan datang itu.
·         Pada setiap minggu pertama bulan Januari, Presiden RI selalu menyampaikan penjelasan terhadap rancangan Undang-Undang Dasar tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dihadapan DPR.
·         Adanya Menteri Negara Nondepartemen dalam praktik ketatanegaraan dibawah Pemerintahan Orde Baru.

8.      Traktat (Perjanjian)

Traktat atau perjanjian, yaitu perjanjian yang diadakan dua negara atau lebih. Dalam praktiknya, perjanjian internasional beberapa negara dilakukan tiga tahapan, yakni perundingan (negotiation), penandatanganan (signature), dan pengesahan (ratification). Disamping itu, ada pula yang dilakukan dalam dua tahapan, yakni perundingan (negotiation), dan penandatanganan (signature).
Dalam kamus Hukum Internasional tidak dibedakan antara traktat dan perjanjian, bahkan traktat dan perjanjian adalah sama artinya. Menurut Belleffroid kedua hal itu mempunyai arti yang berbeda. Menurutnya traktat adalah perjanjian yang terikat pada bentuk tertentu, sedangkan perjanjian tidak selalu terikat pada bentuk itu.
Dalam lapangan Hukum Internasional, suatu proses pembuatan perjanjian sampai mengikat kedua negara atau lebih dilakukan dalam beberapa tahap :
a.       Perundingan atau pembicaraan diadakan tentang masalah yang menyangkut kepentingan masing-masing negara. Perundingan atau pembicaraan itu merupakan tindakan persiapan untuk terjadinya suatu traktat.
b.      Jika para pihak telah memperoleh kata sepakat, maka penetapan-penetapan pokok dari hasil perundingan itu ditandatangani sebagai tanda persetujuan sementara, karena naskah itu masih memerlukan persetujuan lebih lanjut dai Dewan Perwakilan Rakyat negara masing-masing. Kemudian terjadi bahwa masing-masing DPR masih mengadakan perubahan-perubahan terhadap naskah tersebut.
c.       Sesudah diperoleh persetujuan dari kedua negara tersebut, kemudian disusul dengan pengesahan oleh masing-masing Kepala Negara. Jika keputusan dalam traktat itu dilakukan dalam waktu bersamaan, maka pengesahan oleh Kepala Negara masing-masing bisa dilakukan dalam waktu yang berbeda. Sesudah keputusan itu dicapai, maka tidak mungkin lagi bagi kedua pihak untuk mengadakan perubahan dan kini perjanjian itu sudah mengikat kedua pihak.
d.      Keputusan yang sudah disetujui dan ditandatangani oleh para pihak kemudian diumumkan.[13]
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak membedakan antara istilah perjanjian dan traktat, hanya dalam pasal 11 disebutkan istilah perjanjian dengan negara lain, dan dalam kepustakaan wewenang ini disebut sebagai “ Diplomatik Power “ atau Foreign Affair “ atau hubungan luar negeri atau kekuasaan diplomatik. Dalam pasal 11 UUD 1945 ini tidak diperinci lebih lanjut apakah semua perjanjian seperti halnya dengan persetujuan termasuk di dalamnya (Internasional Agreement).
Dalam praktek ketatanegaraan, yang dipakai sebagai dasar untuk menjalankan pasal 11 UUD 1945 tersebut adalah, Surat Presiden kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong tanggal 22 Agustus 1960 No. 2826/HK/1960. Dalam surat ini dibedakan dua macam Perjanjian Internasional, yaitu :
a.       Perjanjian Internasional yang memuat materi yang penting (treaty).
b.      Perjanjian Internasional yang mengandung materi yang kurang penting (agreement).[14]

a.       Perjanjian Internasional yang memuat materi yang penting (treaty).
·         Soal-soal politik, dan soal-soal yang dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri Negara, seperti perjanjian-perjanjian persahabatan, persekutuan, perubahan wilayah atau penetapan tapal batas.
·         Ikatan-ikatan yang sedemikian rupa sifatnya, sehingga mempengaruhi haluan politik luar negeri Negara, dan
·         Soal-soal yang menurut Undang-Undang Dasar 1945 atau sistem perundang-undangan kita hanya diatur dengan Undang-Undang, seperti soal kewarganegaraan.
b.      Perjanjian Internasional yang mengandung materi yang kurang penting (agreement).
·         Masalah pinjaman dalam jangka panjang dari luar negeri atau bantuan pinjaman kepada luar negeri. Kedua-duanya menyangkut keuangan negara, karena itu harus mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat.

BAB III

PENDAHULUAN

Dari pembahasan tentang Sumber-Sumber Hukum Tata Negara memberikan pemahaman mendasar tentang keberadaan hukum formal maupun hukum materiil, yang tertulis maupun yang tidak tertulis, yang sesungguhnya, sekaligus menggambarkan adanya perbedaan tingkatan dari hukum-hukum yang ada dan diberlakukan, tetapi merupakan satu kesatuan yang tidak saling tumpang tindih dan kontroversial.
Dalam kehidupan bernegara, hukum sebagai norma memiliki kekuatan sendiri-sendiri, sehingga satu norma yang lebih tinggi akan membawahi norma yang lainnya. Sebagaimana pembukaan Indang-Undang Dasar 1945 yang menjadi sumber hukum bagi pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945, dan Undang-Undang Dasar 1945 menjadi sumber hukum bagi peraturan perundang-undangan di bawahnya, hingga akhirnya traktat sebagai sumber hukum terakhir dari keseluruhan Sumber Hukum Tata Negara.
Secara subtansial, kedudukan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai tatanan hukum tertinggi bagi peraturan perundang-undangan di bawahnya, menunjukkan kekuatan formal dan materiil undang-undang itu sendiri, sehingga semua pembentukan peraturan perundang-undangan harus menjadi bagian dari kepanjangan tanganan konstitusional yang berlaku, baik dalam arti Ketetapan MPR, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Pelaksana Lainnya, Konvensi Ketatanegaraan, Maupun Traktat.





DAFTAR PUSTAKA

Ismatullah, Dedi dan Beni Ahmad Saebani. 2009. Hukum Tata Negara (Refleksi Kehidupan Ketatanegaraan di Republik Indonesia). Jakarta: CV. Pustaka Setia.
Ranawijaya, Usep. 1983. Hukum Tata Negara Indonesia, Dasar-Dasarnya. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Cipto Handoyo, Hestu dan Y. Thresianti. 1996. Dasar-Dasar Hukum Tata Negara Indonesia. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya.
Lubis, M. Solly. 2002. Hukum Tata Negara. Bandung: Mandar Maju.
Ekatjahjana, Widodo dan Totok Sudaryanto. 2001. Sumber Hukum Tata Negara Formal di Indonesia. Jakarta: Aditya Bakti.
Kusnardi, Moh., dan Harmaily Ibrahim. 1976. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV. Sinar Bakti.
Kansil, C.S.T. 1984. Hukum Tata Negara Republik Indonesia I (Edisi Revisi). Jakarta: Rineka Cipta.
Huda, Ni’matul. 2010. Hukum Tata Negara Indonesia (Edisi Revisi). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Wiratraman, R. Herlambang Perdana. 2008. UUD sebagai Sumber Utama hukum
Tata Negara. Surabaya. Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga.








[1] Usep Ranawijaya, Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-Dasarnya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hal. 22.
[2] Donner, Dalam Hestu Cipto Handoyo, SH, M.Hum, Dasar-Dasar Hukum Tata Negara Indonesia, Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 1996, hal. 23.
[3] Lihat Utrecht, E.,SH., Dalam Moh. Kusnardi, SH., Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, hal. 45.
[4] Lihat Prof. Dr. M. Solly Lubis, SH, Hukum Tata Negara, Bandung, hal. 44-46.
[5] Lihat Prof. Drs. C.S.T. Kansil, SH, Hukum Tata Negara Republik Indonesia I (Edisi Revisi), Jakarta, hal. 36.
[6] Lihat Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, bagian sumber-sumber hukum.
[7] Penjelasan UUD. 1945, Undang-Undang Dasar sebagian dari hukum dasar. Undang-Undang Dasar suatu Negara ialah hanya sebagaian dari hukumnya dasar negara. Undang-Undang Dasar itulah hukum dasar yang tertulis, sedang disampingnya Undang-Undang Dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis , ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan Negara meskipun tidak tertulis.
[8] Lihat Prof. Dr. H. Dedi Ismatullah, M.Hum, Hukum Tata Negara (Refleksi Kehidupan Ketatanegaran di Republik Indonesia, Bandung, 2009, hal. 208-209.
[9] Lihat dalam Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, Indonesia, Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU No. 10 Tahun 2004, LN Tahun 2004 No. 53, TLN No. 4389.
[10] Bandingkan dengan pendapat Maria Farida Indrati, Masalah Hirarki Peraturan Perundang-undangan Menurut TAP MPR Nomor III/MPR/2000, Dalam buku Prof. Dr. H. Dedi Ismatullah, M.Hum, Hukum Tata Negara (Refleksi Kehidupan Ketatanegaran di Republik Indonesia, Bandung, 2009, hal. 211-212.
[11] Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1996 bagian II Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia menurut UUD 1945.
[12] Lihat Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1996 tentang memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia. Pasal 1, menerima baik isi memorandum DPR-GR tertanggal 9 juni 1996, khusus mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia. Pasal 2, Sumber Tertib Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia tersebut pada pasal 1 berlaku bagi pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen.
[13] Lihat Utrect, E. SH, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, 1. Penetapan, 2. Persetujuan masing-masing DPR dari pihak yang bersangkutan, 3. Ratifikasi, atau pengesahan oleh masing-masing Kepala Negara, 4. Pelantikan atau pengumuman (afkondiging), dalam Moh. Kusnardi, SH., Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, hal. 58-59.
[14] Lihat sebelum perubahan ketiga UUD 1945 pada tahun 2001, pasal ini hanya berisi 1 butir ketentuan, yaitu “ Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain “. Ketentuan tersebut sekarang mempunyai rumusan pasal 11 ayat 1 yang baru dengan ditambah ayat 2 dan ayat 3.